Ketika Kritik Wartawan Dijawab dengan Tawaran Sembako
![]() |
| Ilustrasi |
Aksioma.co.id - Bagi sebagian orang di negeri ini, kritik rupanya tak selalu dijawab dengan argumen. Kadang cukup dengan beras, minyak goreng, dan mungkin selembar niat baik yang dibungkus plastik. Dugaan tawaran sembako kepada wartawan media online Hibata.id oleh oknum admin kanal informasi BKKBN Provinsi Gorontalo, setelah terbitnya berita kritis terkait dugaan pungutan liar, memperlihatkan betapa sebagian aparatur publik masih gagap membedakan antara klarifikasi kebijakan dan bantuan sosial.
Alih-alih menyiapkan data, membuka ruang dialog resmi, atau menggunakan hak jawab sebagaimana diatur Undang-Undang Pers, yang muncul justru pendekatan ala warung sembako: sederhana, cepat, dan—sayangnya—salah alamat.
Kritik Dianggap Lapar ?
Ada logika yang menarik sekaligus menggelikan di balik tawaran sembako itu. Seolah-olah kritik jurnalistik lahir bukan dari temuan fakta dan tanggung jawab profesi, melainkan dari perut kosong. Wartawan dikonstruksikan bukan sebagai penjaga kepentingan publik, melainkan sebagai objek belas kasihan yang bisa ditenangkan dengan beberapa kilogram beras.
Jika logika ini diteruskan, maka setiap berita kritis ke depan patut dicurigai sebagai tanda krisis ekonomi personal. Bukan lagi produk kerja jurnalistik, melainkan sinyal kebutuhan sembako. Sebuah cara pandang yang bukan hanya merendahkan profesi wartawan, tetapi juga melecehkan akal sehat publik.
Ketika Institusi Negara Gagap Membaca UU Pers
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya sudah sangat ramah. Ia menyediakan jalan konstitusional bagi siapa pun yang merasa dirugikan oleh pemberitaan: hak jawab. Mekanisme ini tidak memerlukan sembako, tidak membutuhkan empati personal, dan tidak bergantung pada isi gudang logistik.
Namun ketika institusi negara justru memilih jalur informal dengan menghubungi wartawan secara personal dengan tawaran bantuan sosial, yang tampak adalah kegagapan memahami peran pers dalam demokrasi. Kritik diperlakukan sebagai gangguan yang harus diredam, bukan sebagai masukan yang perlu dijawab.
Dan di titik ini, sembako berubah fungsi: dari instrumen kesejahteraan menjadi alat komunikasi politik yang canggung.
Apakah Ini Suap ?
Tentu saja, tidak ada amplop. Tidak ada angka. Tidak ada kata “tolong beritanya diringankan”. Semuanya dibungkus kesantunan dan dalih kemanusiaan. Tapi justru di situlah masalahnya.
Dalam etika jurnalistik, suap tidak selalu hadir dalam bentuk uang tunai. Ia bisa menjelma menjadi pemberian apa pun yang berpotensi memengaruhi independensi wartawan. Sembako, dalam konteks ini, mungkin tampak terlalu remeh untuk disebut suap, namun terlalu sarat makna untuk dianggap netral.
Ia hadir setelah kritik dipublikasikan. Ia datang dari pihak yang berkepentingan langsung. Dan ia ditujukan kepada wartawan yang sedang melakukan fungsi kontrol sosial. Jika ini bukan upaya memengaruhi, maka setidaknya ia adalah kesalahan etika yang luar biasa ceroboh.
Bantuan Sosial yang Salah Sasaran
Ironisnya, sembako adalah instrumen kebijakan publik yang penting. Ia ditujukan bagi warga miskin, kelompok rentan, dan mereka yang memang membutuhkan perlindungan sosial. Ketika sembako justru ditawarkan kepada wartawan yang sedang bekerja, maka yang tampak bukan empati, melainkan kebingungan administratif: siapa sebenarnya yang sedang dibantu, dan untuk kepentingan apa?
Lebih ironis lagi, bantuan sosial yang seharusnya dikelola dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi, malah berpotensi menjadi alat negosiasi sunyi antara kekuasaan dan pers. Sebuah praktik yang tidak hanya mencederai etika jurnalistik, tetapi juga menodai etika birokrasi.
Pers Bukan Penerima Bantuan, Tapi Pengawas Bantuan
Pers tidak berada dalam daftar penerima manfaat program sosial. Pers berada di posisi yang berbeda: mengawasi, mengkritisi, dan memastikan bahwa kebijakan publik berjalan sebagaimana mestinya. Ketika peran ini dibalas dengan sembako, pesan yang sampai ke publik menjadi kabur: apakah kritik harus dihargai, atau cukup “diurus”?
Demokrasi tidak tumbuh dari pers yang kenyang, tetapi dari pers yang merdeka. Dan kemerdekaan tidak bisa ditukar dengan paket bantuan, betapapun tulus niat yang diklaim di baliknya.
Jika Kritik Dibalas Beras, Demokrasi Tinggal Menanak Masalah
Menjawab kritik dengan sembako mungkin terasa manusiawi. Tapi dalam negara hukum dan demokrasi, ia justru terasa kekanak-kanakan. Kritik publik menuntut jawaban publik, bukan bingkisan, bukan empati personal, dan tentu bukan bantuan sosial yang salah konteks.
Jika setiap kritik wartawan dijawab dengan sembako, maka kita tidak sedang membangun demokrasi, melainkan dapur umum kekuasaan. Dan di dapur seperti itu, yang dimasak bukan solusi, melainkan masalah yang sama berulang, basi, dan disajikan dengan senyum. (*)


