Antrian Panjang Disejumlah Daerah Pasca Kebijakan Larangan Pengecer Elpiji 3 Kg, Protes Masyarakat Meningkat

 

Antrian panjang terjadi di Aceh. (Sumber foto : Facebook)


Aksioma.co.id, JAKARTA – Kebijakan pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang melarang penjualan elpiji 3 kilogram (kg) melalui pengecer mulai 1 Februari 2025 terus menuai kontroversi. Keputusan ini dianggap menyulitkan masyarakat kecil, terutama mereka yang bergantung pada gas subsidi untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha mikro. Senin (03/02/2025).


Sejak aturan ini mulai diberlakukan, antrean panjang terlihat di berbagai pangkalan resmi yang ditunjuk pemerintah. Banyak warga yang harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu tabung gas 3 kg. Pemandangan ini terjadi di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Banten.


Di media sosial, video dan foto antrean warga yang berpanas-panasan demi mendapatkan gas subsidi viral. Salah satu unggahan akun TikTok @mak_news menunjukkan antrean warga di sebuah pangkalan yang mengular panjang. Dalam video tersebut, seorang ibu rumah tangga mengeluhkan kebijakan yang dianggap menyulitkan mereka.


"Dulu beli gas gampang, tinggal ke warung dekat rumah. Sekarang harus antre lama di pangkalan. Waktu kami terbuang hanya untuk antre gas!" ujar seorang ibu dalam unggahan tersebut.


Bahkan, di wilayah Banten, sejumlah emak-emak melakukan aksi protes dengan membuang tabung gas kosong ke jalan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan ini.


Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa larangan penjualan elpiji 3 kg melalui pengecer bertujuan untuk menghindari permainan harga yang selama ini terjadi. Menurutnya, distribusi elpiji subsidi yang seharusnya melewati jalur resmi  dari PT Pertamina ke agen, lalu ke pangkalan  justru banyak disalahgunakan oleh pengecer.


"Selama ini Pertamina menyuplai ke agen, lalu ke pangkalan, dan dari pangkalan ke pengecer. Kami menerima laporan adanya permainan harga di tingkat pengecer yang membuat masyarakat harus membayar lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah," ujar Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta.


Menurutnya, dengan menghapus peran pengecer, masyarakat diharapkan bisa membeli gas dengan harga yang lebih terjangkau sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.


Namun, kebijakan ini justru mendapat kritik pedas dari warganet. Banyak masyarakat menilai aturan ini tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan, di mana akses pangkalan resmi tidak selalu mudah dijangkau.


Di media sosial TikTok dan X (Twitter), tagar #TolakAturanGas3Kg mulai trending. Akun @haryono_kemong mengunggah video seorang pedagang warung yang mengaku kesulitan mendapatkan gas.


"Sudah cari makan susah, ditambah makin dipersulit dengan aturan seperti ini! Mau jualan warung saja sulit kalau gas susah didapat. Mending menteri yang bikin aturan ini dibuang ke laut aja!" tulisnya dalam unggahan TikTok yang telah ditonton ribuan kali.


Sementara itu, akun @raki_olshop70 dalam unggahan videonya menyebut kebijakan ini sebagai keputusan yang tidak masuk akal.



"Menteri tolol, Lihatlah antrean masyarakat yang berjam-jam hanya untuk gas, Mana akun Gerindra? Kenapa diam saja melihat rakyat kesusahan," ucapnya dengan nada geram.


Kebijakan ini juga berdampak langsung pada pelaku usaha kecil seperti pedagang makanan kaki lima, penjual gorengan, dan warung makan. Selama ini, mereka terbiasa membeli gas dari pengecer yang mudah dijangkau. Dengan aturan baru ini, mereka harus mencari pangkalan resmi, yang sering kali jauh dari lokasi usaha mereka.



Siti (42), seorang penjual gorengan di Jakarta Timur, mengaku omzetnya menurun sejak aturan ini berlaku.



"Biasanya saya beli gas di warung dekat rumah, sekarang harus ke pangkalan yang jauh. Kalau gas habis mendadak, saya harus tutup dagangan dulu buat cari gas. Ini sangat merepotkan!" ujarnya.



Para pelaku UMKM berharap pemerintah bisa meninjau ulang kebijakan ini atau setidaknya memberikan solusi agar distribusi gas 3 kg tetap berjalan lancar tanpa merugikan rakyat kecil.


Melihat gelombang protes yang semakin meluas, sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Beberapa ekonom dan pengamat energi menilai bahwa aturan ini perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan.


Pengamat ekonomi energi dari Universitas Indonesia, Arif Budiman, menilai bahwa kebijakan ini baik secara konsep, tetapi penerapannya harus disertai dengan solusi alternatif.


"Jika ingin menghapus pengecer, pemerintah harus memastikan distribusi di pangkalan berjalan lancar dan tidak menyusahkan masyarakat. Jangan sampai niat baik untuk mengontrol harga justru berujung menyulitkan rakyat kecil," katanya.


Hingga kini, belum ada tanda-tanda pemerintah akan mencabut kebijakan ini. Namun, jika gelombang protes terus meningkat, bukan tidak mungkin akan ada revisi atau penyesuaian aturan ke depannya.


Topik Terkait

Baca Juga :